Perkembangan iklan dewasa ini menunjukkan adanya kecenderungan iklan tampil dengan dominasi non-verbal daripada verbal. Antara tanda non-verbal yang digunakan dengan produk barang atau jasa yang diiklankan terkadang tidak memiliki hubungan pemaknaan sama sekali dan bahkan terkadang mencerminkan pemaknaan diluar realitas. Hasil kajian menunjukkan, makna dan pesan yang ditimbulkan oleh unsur non-verbal mampu menjadikan sebuah iklan untuk dapat tampil lebih persuasif, menarik dan mudah diingat oleh konsumen.
Kata Kunci : hipersemiotika, hiperealitas, semiotika, realitas, makna tanda
1. Pendahuluan
Kemajuan bidang ilmu dan teknologi dapat dirasakan di semua aspek kehidupan, di antara sekian banyak kemajuan ilmu dan teknologi yang telah dicapai, yang paling dirasakan dan paling menyentuh kehidupan masyarakat sekarang ini adalah kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi.Dengan adanya kemajuan dalam bidang komunikasi dan informasi, setiap orang dari berbagai negara di dunia mampu dengan cepat melakukan komunikasi ke mana saja dan kapan saja.
Kamus Besar Bahasa Indonesia 88 mendefinisikan iklan sebagai
(1) berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan,
(2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah.
Menurut Sumarlam (2004: 185-186), pada awalnya, seorang pedagang keliling yang berteriak-teriak, menyanyi, atau menggunakan alat yang menghasilkan bunyi-bunyian untuk dapat menarik perhatian pembeli sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah iklan (mengiklankan barang dagangan secara langsung). Misalnya seorang pedagang sayur keliling akan menjajakan barang dagangannya dengan berteriak “Sayur Bu. Beli sayurnya Bu. Sayuurrr, sayuurrr. Sayuurrr-nya Buuu.” Dalam hal ini, iklan ditampilkan hanya dengan bahasa lisan yang bersifat lugas dan langsung pada target konsumen yang diinginkan.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta semakin banyaknya produk barang atau jasa yang diiklankan dengan jaringan pemasaran yang semakin global, iklanpun dituntut untuk dapat tampil menarik dan mampu memikat target konsumen yang semakin jeli dan pintar. Kini iklan dapat ditampilkan di dalam berbagai media − baik cetak maupun elektronik − dengan berbagai bentuk dan tampilan yang sangat kreatif, atraktif dan tentunya persuasif.
Dalam bidang periklanan, sebagian besar penanda verbal tidak memiliki hubungan secara linguistik dengan produk barang atau jasa yang diiklankannya. Sebut saja sebuah iklan jam tangan Piaget (Bazzar Harper’s:September 2004). Pada iklan terlihat produk jam tangan Piaget diverbalisasi dengan frasa “Piaget, the secret garden”. Secara linguistik, antara bentuk verbal yang ditampilkan dengan produk barang yang diiklankan tidak berhubungan sama sekali, dimana tidak terdapat hubungan sama sekali antara sebuah taman rahasia (‘secret garden’) dengan sebuah jam tangan (produk yang diiklannkan). Tampilan unsur non-verbal juga menunjukkan fenomena yang sama. Antara tanda visual yang digunakan dengan produk barang atau jasa yang diiklankan terkadang tidak memiliki hubungan. Jika demikian, apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh pihak produsen melalui penanda verbal dan non-verbal tersebut ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka kedua elemen tanda (verbal dan non-verbal) tersebut harus dikaji secara satu kesatuan. Berdsarkan uraian yang diberikan oleh Piliang (2003:263) objek sebuah iklan merupakan representasi dari produk barang atau jasa yang diiklankan. Konteks sebuah iklan merupakan elemen yang memberikan (atau diberikan) konteks dan makna pada produk barang atau jasa yang diiklankan, sedangkan teks iklan merupakan tanda verbal yang berfungsi memperjelas hubungan makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh iklan tersebut.
Dalam pengungkapan makna ataupun pesan sebuah iklan harus memperhatikan hubungan antara unsur verbal dan non-verbal sebuah iklan dengan lingkungan sekitarnya (konteks iklan), secara sosial dan budaya. Hubungan timbal balik antara unsur tekstual dengan unsur kontekstual dalam sebuah iklan, menjadikan iklan komersial sebagai wacana yang sangat menarik untuk dapat diteliti dan dikaji lebih dalam.
2. Semiotika dan Hipersemiotika
Berbicara tentang hipersemiotika tentunya tidak dapat dilepaskan dengan semiotika sebagai induk semua kajian tentang makna simbul (sign). Karena itu, sebelum membahas apa itu hipersemiotika, terlebih dahulu akan dibahas tentang semiotika itu sendiri.
2.1 Semiotika
Kajian semiotika merupakan kajian tentang tanda (sign) dengan segala perannya di dalam kehidupan sosial masyarakat. Sesungguhnya tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang diterima oleh otak untuk diproses yang kemudian memunculkan respon berupa sebuah konsep realitas tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa kajian semiotika mempelajari tentang segala bentuk hubungan antara tanda dengan representasi realitasnya dan hubungan diantara para penggunanya di dalam kehidupan sosial masyarakat. Hubungan antara tanda dengan representasi realitasnya lebih dikenal dengan hubungan antara penanda (tanda) dengan petanda (makna). Uraian ini sesuai dengan pendapat Ferdinand de Saussure dan Ogden & Richards yang mencetuskan teori tentang penanda dan petanda.
Ferdinand de Saussure (Saussure, url: web pg. 2 – 3) menjelaskan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem komunikasi yang melibatkan concept dan sound image, di mana sound image merupakan signifier (penanda) dan concept merupakan signified (petanda). Antara penanda dengan petanda tidak memiliki hubungan korelasi satu satu. Penanda merupakan sesuatu yang bersifat arbitrer atau mana suka dan tidak ada hubungannya dengan petanda yang dimaksud. Seperti contoh kata ‘mobil’, petanda (konsep makna ) yang kita pikirkan tidak ada hubungannya dengan tata urutan bunyi dari penandanya yaitu mobil→ [ m o b I l ] dalam bahasa Indonesia dan car → [ k a: ] dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan Saussure, Ogden & Richards (1923) menambahkan satu unsur penghubung antara penanda dengan petanda yaitu thought or reference. Stimulus penanda yang dalam hal ini dikatakan sebagai unsur linguistik berupa kata atau kalimat, diolah di dalam otak melalui konsep makna yang telah kita miliki atas penanda tersebut lalu keluar respon berupa objek (referent) sebagai petanda. Jadi antara penanda dan petanda tidak berhubungan secara langsung tapi berhubungan melalui konsep makna yang ada di dalam otak. Hubungan antara ketiganya dijelaskan melalui gambar segitiga yang dikenal dengan semiotic triangle.
Stimulus penanda yang dalam hal ini dikatakan sebagai unsur linguistik berupa kata atau kalimat, diolah di dalam otak melalui konsep makna yang telah kita miliki atas penanda tersebut lalu keluar respon berupa objek (referent) sebagai petanda. Jadi antara penanda dan petanda tidak berhubungan secara langsung tapi berhubungan melalui konsep makna yang ada di dalam otak.
2.2 Hipersemiotika
Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Piliang (2003), pada dasarnya kajian hipersemiotika sama dengan kajian semiotika yaitu sama-sama mempelajari peran dan makna tanda dalam kehidupan sosial masyarakat. Perbedaan dasar di antara keduanya terletak pada awalan hiper- dalam hipersemiotika. Awalan hiper- memiliki arti ‘lebih’ atau ‘melampaui batas’. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah batasan apakah yang dilewati oleh kajian hipersemiotika yang tentunya melampaui batasan kajian semiotika ?
Berdasarkan uraian tentang semiotika di atas, secara analogi dapat ditarik satu jawaban atas pertanyaan tersebut. Di atas telah dijelaskan bahwa kajian semiotika mempelajari hubungan antara tanda dengan representasi realitasnya dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara analogi dapat dikatakan bahwa kajian hipersemiotika merupakan kajian ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda (yang bersifat hiper) dengan reperesentasinya di dalam kehidupan sosial masyarakat yang maknanya melampaui batas realitas.
Kajian hipersemiotika mempelajari hubungan antara tanda-tanda yang melampaui batas (hiper-signs) dengan representasinya yang melampaui batas realitas (hiperealitas). Piliang (2003: 53 – 54) menyebutkan bahwa dunia hiperealitas merupakan sebuah dunia perekayasaan realitas melalui penggunaan tanda-tanda yang melampaui batas sehingga tanda-tanda tersebut hanya dapat dijelaskan di dalam dunia hiperealitas dan telah kehilangan kontak dengan representasi realitasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dunia hiperealitas merupakan sebuah dunia imajinasi manusia dengan berbagai tandanya yang bersifat imajiner dan bermakna bebas yang telah terlepas dari kontak dunia realitas.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah tanda-tanda yang bagaimanakah yang disebut tanda melampaui batas dalam kajian hipersemiotika ini ? Piliang (2003: 54) menyebutkan bahwa tanda dapat dikatakan melampaui batas ketika ia (tanda) telah keluar dari batas prinsip, sifat, alam, dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian informasi, serta telah kehilangan kontak dengan representasi realitasnya. Lebih lanjut Piliang (2003: 54 – 59) memberikan batasan kajian hipersemiotika, sebagai berikut.
2.2.1 Tanda sebenarnya (proper signs)
Pada prinsipnya tanda sebenarnya merupakan tanda yang berada dalam wilayah kajian semiotika yaitu tanda yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Misalnya, penanda bunga mawar digunakan sebagai petanda cinta yang merepresentasikan kasih sayang dalam kehidupan sosial di masyarakat.
2.2.2 Tanda palsu (pseudo signs)
Tanda palsu adalah tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas. Dalam hal ini sebuah penanda hanya ditampilkan sebagian saja untuk merepresentasikan sebuah realiatas yang bersifat kompleks. Penanda palsu sering dijumpai dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik termasuk media internet. Misalnya penanda gambar sebagian kecil wilayah Aceh yang hancur akibat gempa dan tsunami dipergunakan untuk merepresentasikan betapa dasyatnya petaka yang menimpa Aceh secara keseluruhan termasuk segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh. Dalam hal ini petanda [X] hanya direpresentasikan melalui penanda [1/2X]..
2.2.3 Tanda dusta (false signs)
Tanda dusta adalah tanda yang dipergunakan untuk menutupi sebuah realitas dengan merepresentasikan realitas yang lain. Dalam hal ini sebuah tanda dengan realitas yang berbeda dipergunakan untuk merepresentasikan realitas lainya yang tidak memiliki hubungan sama sekali (dusta). Misalnya sebuah penanda wig (rambut palsu) digunakan oleh orang yang tidak botak akan memberikan representasi realitas bahwa dia sesungguhnya botak tapi dapat terlihat tidak botak oleh wig tersebut. Jadi penanda wig telah memberikan petanda palsu dalam kasus ini, karena secara realitas orang tersebut tidak botak.
2.2.4 Tanda daur ulang (recycled signs)
Tanda daur ulang adalah tanda yang merupakan representasi realitas pada suatu konteks ruang dan waktu yang berbeda dan digunakan untuk mereprersentasikan realitas yang lain dalam konteks ruang dan waktu yang lain. Misalnya pengunaan penada gambar-gambar yang diambil pada peristiwa Marsinah (kejadian pada masa lalu) untuk merepresentasikan (seolah-olah seperti itulah) kejadian pemerkosaan perempuan etnis Cina pada peristiwa kerusuhan 13 Mei di Jakarta. Hal ini bisa terjadi karena kemungkinan pada peristiwa pemerkosaan 13 Mei tidak terdapat rekaman kejadian (foto/gambar), yang ada hanya pengakuan korban.
2.2.5 Tanda artifisial (artificial signs)
Tanda artifisial disebut juga tanda buatan atau tanda tidak alamiah yaitu sebuah tanda yang dibuat atau direkayasa melalui teknologi citraan mutakhir (teknologi digital atau komputer) dan tidak memiliki referensi pada dunia realitas. Dalam hal ini tanda artifisial yang tercipta tidak digunakan untuk merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (tanda itu sendiri) melainkan untuk merepresentasikan dirinya sendiri. Misalnya penciptaan ilustrasi dan karakter pemain pada sebuah film animasi (kartun), dimana semua penanda yang ada (ilustrasi dan gambar pemainnya) dibuat untuk merepresentasikan kenyataan dalam film itu sendiri tanpa mengambil referensi pada dunia realitas.
2.2.6 Tanda ekstrim (superlative signs)
Tanda ekstrim adalah sebuah tanda yang dibuat untuk merepresentasi sebuah petanda yang sederhana dalam dunia realitas, namun pada kenyataannya tampil dalam penanda khusus yang melibatkan banyak effek (audio atau visual) tambahan sehingga menimbulkan kesan ekstrim (hiperbolis) diluar batas representasi realitasnya. Misalnya penanda yang dilibatkan dalam adegan perkelahian pada film-film Hollywood (seperti dalam film ‘Matrix’) yang tampil dengan berbagai spesial effek sehingga mampu melampaui batas representasi realitas sebuah perkelahian.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kajian hipersemiotika merupakan kajian tentang peran tanda-tanda yang melampaui batas realitas dan mampu menciptakan sebuah dunia hiperealitas. Dengan kata lain, dalam kajian hipersemiotika setiap penanda memiliki petanda (makna) yang luas dan bebas, − seluas dan sebebas sebuah dunia hiperealitas − tergantung pada daya imajinasi dan interpretasi setiap orang yang menikmatinya.
3. Makna dan Pesan Iklan
Dalam menganalisis makna dan pesan sebuah iklan haruslah memadukan antara unsur tektual dan kontektual dari iklan tersebut (Dyer 1982:87). Berikut ini adalah satu bentuk analisis iklan komersial media cetak yaitu iklan perbankan. Iklan Reward BCA (Seventeen:Juni 2002) ini merupakan sebuah iklan yang tidak menjual produk barang melainkan menawarkan jasa perbankan.
Iklan jasa perbankan ini dibuat oleh pihak Bank BCA. Produk jasa yang ditawarkan berupa pelayanan jasa kartu kredit. Atas kepercayaan nasabah menggunakan kartu kredit BCA ini,pihak BCA memberikan reward (hadiah) berupa Reward BCA.
3.1 Analisis Makna Iklan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya analisis makna iklan meliputi analisis tektual dan kontekstual. Untuk memperoleh makna yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh produsen maka proses analisis akan dibedakan menjadi tiga bagian analisis yaitu analisis makna pada latar belakang iklan, tubuh iklan dan penutup (slogan atau produk yang diiklankan).
3.1.1 Analisis makna pada latar belakang iklan
Penggunaan latar sebuah café atau bar yang terlihat eksklusif dan elegan menandakan bahwa setiap pemegang katru kredit BCA mampu untuk berkunjung dan berbelanja ke tempat-tempat yang eksklusif. Hal ini dipertegas kembali dengan menggunakan ikon seorang wanita (ibu) yang terlihat begitu cantik dan elegan sedang bersantai minum di café atau bar tersebut, sambil tersenyum memandang anaknya. Kondisi ini memberikan makna bahwa seseorang mampu untuk memperoleh kenikmatan seperti ‘ibu’ tersebut dengan menggunakan kartu kredit BCA.
Berdasarkan analisis makna di atas, penanda ikonik sebuah café atau bar dalam iklan ini merupakan sebuah penanda palsu, karena sebuah café atau bar tersebut dipergunakan sebagai petanda suatu kehidupan yang mewah dan eksklusif, yang pada kenyataanya café dan bar tersebut hanyalah sebagian kecil dari ciri atau tanda hidup mewah.
Ikon seorang ibu yang terdapat pada latar merupakan sebuah penanda dusta, sebab mungkin saja ibu tersebut bukanlah orang kaya yang mampu hidup dengan segala kemewahan tersebut. Namun ia mampu ada di sana hanya karena ia mendapat fasilitas kemudahan dari kartu kredit BCA.
3.1.2 Analisis makna pada tubuh iklan
Ikon seorang anak laiki-laki yang ditampilkan pada bagian tubuh iklan merupakan inti atau pokok iklan yang berfungsi sebagai eye catcher atau attention gatter. Keberadaan ikon ini mempertegas ‘senyum sang ibu’ pada latar belakang di atas. Ikon anak laki-laki yang ditampilkan memperlihatkan bahwa ‘sang anak’ terlihat begitu menikmati dan bahagia atas segala sesuatu yang dimikinya saat ini. Kebahagiaan ‘sang anak’ ini dapat diberikan oleh ibunya dengan menggunakan Reward BCA. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan kartu kredit BCA ‘sang ibu’ mampu menikmati hidupnya sekaligus mampu memberikan kebahagiaan pada anaknya tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan, cukup dengan menggunakan Reward BCA yang telah dikumpulkannya. Hal ini dipertegas dengan tanda verbal yang ada yaitu “Dengan Reward BCA semua bisa GRATIS”.
Penanda yang terdapat pada tubuh iklan ini, khusunya penanda verbal “GRATIS” merupakan sebuah penanda dusta, sebab ‘garatis’ yang direpresentasi oleh penanda “GRATIS” bukanlah ‘gratis’ yang sesungguhnya. Kata ”GRATIS” pada iklan ini berarti nasabah harus berbelanaja terlebih dahulu menggunakan kartu kredit BCA untuk medapatkan poin Reward BCA, yang nantinya dapat dipergunakan untuk berbelanja, sesuai dengan nilai reward rupiah yang dimiliki.
Terkait dengan penanda ikonik sang anak yang sedang asik mendengarkan musik sambil menginjak sebuah bola merupakan sebuah penanda ekstrim atau hiperbola. Sebab kedua keadaan tersebut (mendengarkan musik melalui walkman dan keinginan untuk bermain sepak bola) tidak mungkin dapat dilaksanakan bersamaan. Namun penanda ikonik ini bertujuan menunjukkan bahwa segalanya mungkin saja terjadi dengan menggunakan kartu kredit BCA.
3.1.3 Analisis makna pada penutup iklan (slogan dan produk iklan)
Penada ikonik produk kartu kredit BCA pada bagian penutup iklan ditampilkan dengan urutan : “BCA Card, BCA MasterCard, BCA Visa, dan BCA JCB”. Pada tampilan tersebut terlihat bahwa ‘BCA Card’ mendapat tampilan terdepan dengan ikon lengkap. Hal ini terjadi tidak terlepas dari identitas bank BCA itu sendiri, sebab kartu kredit BCA Card merupakan produk perbankkan milik BCA, sedangkan kartu kredit yang lain merupakan kartu kredit hasil kerja sama bank BCA dengan pihak lain (pihak MasterCard, Visa Card dan JCB). Posisi ini merupakan suatu pembanggaan dan penghargaan bagi BCA sendiri selaku pihak yang mampu mengeluarkan kartu kredit. Penghargaan yang sama juga ditunjukkan pada tanda verbal yang ada yaitu “… transaksi yang anda lakukan dengan BCA Card, BCA MasterCard, BCA Visa, dan BCA JCB.”
Posisi ikon logo BCA pada iklan ini mengambil posisi yang sangat sentral yaitu pojok kanan bawah dan pojok kiri atas. Pada pojok kanan bawah terdapat logo bank BCA sedangkan pada pojok kiri atas terdapat logo produk jasa yang ditawarkan yaitu logo Reward BCA. Hal ini mengindikasikan bahwa segala kenikmatan, kemudahan dan kebahagian yang terlihat pada iklan merupkan milik bank BCA, dan hanya dapat anda miliki bila anda bergabung dengan bank BCA.
Penanda yang ada pada bagian penutup iklan seperti ikon kartu kredit, ikon logo Bank BCA dan ikon logo Reward BCA, merupakan penanda sebenarnya, karena penanda-penanda tersebut merepresentasikan keadaan yang sebenarnya dari kartu kredit BCA dan logo BCA serta logo Reward BCA.yang ditampilkan dalam bentuk satu dimensi.
3.2 Analisis Pesan Iklan
Analisis pesan sebuah iklan tidak dapat dipisah-pisahkan berdasarkan struktur pembentuknya. Pesan sebuah iklan merupakan makna setral yang merupakan inti dari iklan tersebut. Secara lugas dapat dikatakan bahwa pesan sebuah iklan merupkan sebuah simpulan dari iklan yang dapat ditangkap oleh konsumen.
Dalam iklan Reward BCA ini pihak bank ingin menyampaikan bahwa ‘kartu kredit BCA memberi anda (para nasabah) sesutau yang lebih’. Dengan kartu kredit BCA, anda mampu lebih menikmati hidup anda dan keluarga. Dimana setiap kali nasabah malakukan transaksi menggunakan kartu kredit BCA, nasabah secara langsung akan mendapatkan reward rupiah (hadiah berupa uang rupiah non-tunai) yang nantinya dapat digunakan oleh nasabah untuk berbelanja “APA PUN KAPAN PUN”. Pada iklan ini yang dimaksud ”GRATIS” adalah nasabah tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli sesuatu karena dapat dibayar dengan menggunakan reward rupiah yang dimiliki.
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, dapat disimpulakan bahwa makna dan pesan sebuah iklan menunjukkan niat terselubung dari iklan tersebut, yaitu dengan munculnya berbagai bentuk persuasif agar produk tersebut mau dibeli oleh konsumen. Kebanyakan makna dan pesan tersebut disampaikan melalui unsur non-verbal, sebab unsur non-verbal lebih mampu bersifat persuasif dan lebih mudah diingat oleh konsumen daripada unsur verbal (terutama dalam hal mengingat/menghafal tulisan/teks). Dalam hal ini unsur verbal hanya bersifat sebagai pendukung dan penegas dari apa yang terlihat pada unsur non-verbal.
Daftar Pustaka:
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika : Studi Kultur Atas Matinya Makna. Yogyakarta
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 1988. Jakarta: Balai Pustaka
Ogden, C.K. & Richards, I. A. 1923. The Mean of Meaning. London
Sumarlam, Adhani, dkk. 2004. Analisis Wacana. Bandung
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar